Qonita menyusuri jalan setapak yang terlapis debu vulkanik.
Debunya berterbangan setiap kali sesuatu melewatinya. Gadis belia tersebut
mengamati setiap tempat yang dia lewati, kemudian keaadannya ia abadikan dengan
kamera yang menggelantung di leher jenjangnya. Tak henti-hentinya bibir mungil
Qonita menyebut asma Allah yang membuatnya merasa tambah ngeri dengan musibah
yang Allah turunkan untuk saudara-saudaranya di Magelang ini. Selama berada di
kota kelahirannya, Qonita selalu melayangkan pikiran ke masa kecilnya bersama
Adinda dan semua peristiwa yang kini tinggalah kenangan.
Dusun yang berada sekitar 9 km dari puncak Gunung yang paling
aktif di dunia ini, telah luluh lantak diterpa awan panas Sang Merapi yang
ganas.
“Pulang kampung, nduk” suara berat itu berasal dari belakang
Qonita.
“Eh, pa Suryo…iya nih, kangen karo si mbok…sama mau ngebantuin
para relawan di pengungsian, piye kabare pak?” sedikit berbasa-basi mungkin
dapat menghilangkan sedih, pikir Qonita dalam hati.
“Yaah..gini-gini ae,nduk-nduk” tertangkap kesedihan dari sorot
mata Pak Suryo yang terkenal dengan kekayaannya namun tak sombong juga pelit
pada semua orang.
“Yang sabar ya, pak…semua ini pasti ada hikmahnya, loh kok aku jadi
ceramah si…hhe maap ya pak” hibur Qonita , berharap dapat menghapus sedikit
kesedihannya.
“Ndak papa to, tak dengerin nganti bubar” seulas senyum mulai
mengembang dari bibir Pak Suryo, yang dinaungi kumis lebat.
“Yaudah, tak pergi sek…salam ya buat sapi-sapinya”
“loh??, yo wes…ngko tak sampe’ ne, bapak mau cari rumput dulu ya
buat sapi”
“Ya..hati-hati ya, pak…jangan lupa salamin”
Pak Suryopun hanya tertawa. Rindunya aku pada ekspresi tertawa
dari saudara-saudaranya, seperti yang Pak Suryo lakukan tadi,desah Qonita
seiring perginya Pak Suryo dari hadapannya. Kemudian Qonita melanjutkan
perjalanan ke dusun seberang.
Dusun Ngargomulyo yang berjarak 7 km dari puncak Merapi ini sudah
sangat layak untuk disebut sebagai kota mati. Walaupun sebenarnya pinggiran kota
Jogja juga hampir dapat dibilang sebagai kota mati, kalau keaadaan debu
vulkaniknya sudah melapisi semuanya dengan ketebalan lebih dari 1 cm. Dusun ini
sudah tak berbentuk, tiba-tiba ekor mata Qonita menangkap sebuah bangunan tua
yang usang dimakan usia yang menurut Qonita bangunan ini begitu familiar
dimatanya.
“Sekolahku???, SDN Suka Jaya ???, masya Allah…rindunya aku dengan
suasana ramai nan riuh dari bangunan usangmu…” tangis Qonita pecah saat
teringat adiknya, Adinda. Gadis kecil berumur 6 tahun yang meninnggal saat
letusan merapi tahun 2006 lalu.
Karena lelah telah bertangis ria selama berjam-jam, Qonita berniat
kembali ke pengungsian. Kakinya terasa berat untuk meninggalkan tempat yang
begitu berkesan baginya dan almarhumah adik tercintanya. Dengan mantap, Qonita
meninggalkan tempat itu sebelum adzan maghrib berkumandang. Sebagai relawan
yang baik, seharusnya tidak boleh berkeliling tempat kejadian seperti yang
Qonita lakukan. Sesampainya di tampat pengungsian, Qonita bergegas membantu
para TNI menyiapkan makan malam untuk para korban bencana. Karena kelelahan,
Qonita meminta izin kepada ketua relawan agar dia dapat beristirahat lebih
cepat dari biasanya.
“Yaudah sana…hati-hati”
“Loh kok…. hati-hati, tendaku kan Cuma berjalan 10 meter dari sini”
“Musibah bisa datang kapan saja…tanpa sepengetahuan kita”
“Iya ya…oke deh, assalamu’alaikum”
“Wa’alaikumsalam”
Senyum Wahyu mengembang cepat, ditatapnya Qonita yang berajak
masuk ke tendanya. Calon istriku memang the best, ucap Wahyu sambil
cengengesan. Sebulan yang lalu, Wahyu datang ke rumah Qonita dan melamarnya,
mereka sepakat melaksanakan pernikahan pada liburan Desember nanti. Karena
takut terlintas pikiran yang ngaco, Wahyu kembali menyibukkan dirinya dengan
nyupir, nyuci piring.
Keesokkan harinya, erupsi merapi kembali terjadi. Tapi itu tidak
mematahkan semangat Qonita untuk melanjutkan perjalanan yang kemarin tertunda
akibat semburat jingga telah mewarnai langit Magelang. Seluruh teman sesama
relawan termasuk calon suaminya tidak dapat menahan keinginan Qonita. Dan
akhirnya mereka semua menyerah.
Matahari telah berada tepat di atas kepala. Panasnya mulai
menyelinap masuk ke pori-pori kecil Qonita. Tapi tak sedikitpun memupuskan
semangat ’45 milik Qonita. Gadis manis tersebut menapakkan kakinya di dusun
Ngandong. Dusun yng berjarak 6 km dari merapi. Samar-samar terdengar tangisan
anak kecil. Suaranya terdengar dari dalam gubuk yang berada tepat didepan
Qonita, perlahan ia mendekati gubuk tersebut.
Masa’ sih, masih ada anak kecil yang ketinggalan di tempat
ini,tanyanya dalam hati.
“Assalamu’alaikum..”
“Wa..wa’alaikum..sa..salam” jawab seseorang dangan
tersendat-sendat.
Ditatapnya gadis kecil yang lusuh dan berambut panjang sedang
terduduk di kursi kayu yang lapuk. Gadis tersebut kembali menangis dengan
tertunduk. Karena heran dengan gadis tersebut, Qonita mendekatinya. Tiba-tiba
sayup-sayu terdengar suara seseorang yang begitu dikenalnya.
“Qonita!!!, kamu dimana ???...merapi ngamuk lagi !!!, ayo kita
pulang?!” teriakkan Wahyu bagaikan magnet yang menarik tubuh Qonita dan
mengajak pergi dari gubuk. Tanpa berpikir panjang, digendongnya gadis kecil
yang terduduk di bangku itu dan segera meninggalkan gubuk tersebut. Dilihatnya
rambut Wahyu yang jabrik dari kejauhan.
“Wahyu!!, cepat lari duluan?!...wedus gembel-nya mulai turun!!”
ditangkapnya suara Qonita dari kejauhan.
“aku ga akan lari tanpa kamu!!!, ayo cepat?!” Wahyupun ikut
berlari karena Qonita sudah berlari sampingnya.
Kenapa Qonita bawa-bawa gedebong pisang???, memangnya ga berat???,
tanya Wahyu dalam hati. Dilihatnya gedebong pisang yang berada dipelukan
Qonita. 1001 pertanyaan memenuhi kepala Wahyu, tapi tak berani ia tanyakan ke
calon istrinya tersebut.
“Kalo kamu ga lari duluan…aku janji kita ga akan menikah bulan
depan?!” ancaman yang keluar dari mulu Qonita membuatnya panas-dingin.
“Ga..aku enggak bakal ninggalin kamu”
Qonita memutar otaknya, memikirkan apa yang dapat membuat lelaki
jangkung tersebut akan meninggalkannya. Qonita ingat kelemahan Wahyu, cubit
pinggangnya…dan dia akan lari sekencang mungkin hingga rasa sakit dipinggangnya
hilang, kata tante Qory, ibunya Wahyu. Tanpa sepengetahuan Wahyu, tangan Qonita
berhasil mencubit pinggangnya dengan cukup kencang.
“AAAUUUUWWWWHHH” teriak Wahyu sambil memegang pinggangnya. Jarak
100 mter berhasil Wahyu tempuh dalam hitungan detik. Waktu SMA, Wahyu mempunyai
julukan “Flash”(superhero mavels komik yang larinya super cepat). Makanya tidak
heran kalau dikamar Wahyu berjejer piala lomba lari yang tak terhitung
jumlahnya.
“yeeee…good job?!” Qonita teriak tidak karuan, saking girangnya
Qonita tidak sadar kalau didepan terdapat potongan kayu yang siap menghadang
jalannya. Padahal, awan panas tengah mengejarnya yang hanya berjarak sekitar
1km darinya. GUBRAKKK?!
Gadis kecil yang berada digendongannya terlepas, dan menghempas ke
tanah yang bertabur debu. Setelah sadar bahwa dia telah terjatuh, ditatapnya
gadis kecil yang berdiri dihadapannya. Kulitnya putih pucat, rambutnya digerai,
memakai dress pink. Qonita terpana pada kaki gadis tersebut, bagian telapak
kaki hingga lututnya hampir tembus pandang. Dan yang membuat Qonita kaget, kaki
gadis itu tidak bersentuhan dengan tanah alias melayang.
“Adinda???” tanyanya lirih pada gadis yang berdiri dihadapannya.
Perlahan wajah gadis tersebut terangkat. Seulas senyum menghiasi wajah imut
gadis kecil tersebut. Kejaran awan panas semakin mendekat, tapi Qonita pasrah.
Kakinya yang tersangkut di celah akar pohon, membuatnya tak dapat bergerak.
Sedikitpun Qonita memikirkan
tentang amukan merapi, Wahyu yang begitu mencintainya, bahkan tentang
pernikahannya yang akan dilaksanakan bulan depan. Yang hanya ada dipikirannya
hanyalah sosok Adinda yang menari-nari dipelupuk matanya.
Sosok Adinda yang gaib, perlahan memudar. Hilang dari hadapannya.
Sebelum menghilang, Adinda sempat mengangguk sebanyak 2 kali sambil tersenyum.
Yang dapat diartikan menjadi, aku tunggu kehadiranmu yaa…
Qonita merasa sekujur tubuhnya membeku seketika. Kemudian panas
menjalar dari ujung kakinya hingga ujung kepalanya. Setetes air mata turun
melewati pipinya yang merona.
“La..ila..hailallah, muhammadurrasulullah” ucapnya lirih. Dan
Izrail menjemput Qonita.
0 komentar: